• Youtube
  • Instagram

Tentang Saya

Kalau tak kenal maka tak sayang


Sedikit tentang saya

Seseorang yang memiliki rasa ingin tahu yang besar dan terus mencari hal-hal baru untuk memperkaya hidupnya, dengan kesukaan yang unik seperti kucing, buku, Psikologi, Pemrograman, dan Design, serta semangat untuk terus belajar dan meningkatkan diri dalam berbagai aspek kehidupan.

Motto Hidup : Belajar dari masa lalu, Berharap untuk masa depan dan Hidup untuk saat ini.

Profil Saya

Rezqi Abdina

Informasi Pribadi

Rezqi Abdina

======================================

Tanggal lahir: 5 Januari 1997
Alamat: JL. Kuin Selatan Gg. Al-Hidayah No. 102
Pekerjaan: Pranata Komputer Terampil
Pendidikan: D3 Teknik Informatika

RIWAYAT HIDUP

Perjalanan Pekerjaan dan Pendidikan saya


Pekerjaan

  • 2024-Sekarang

    Badan Penanggulangan Bencana Daerah @ Pranata Komputer Terampil

    Setelah melalui proses seleksi yang ketat, saya sangat senang dapat menjadi bagian dari Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan sebagai PPPK di bagian Umum dan Kepegawaian, sebuah posisi yang memungkinkan saya untuk dapat memberikan kontribusi nyata dalam pembangunan daerah.

  • 2019-2024

    Biro Pemerintahan @ Analis Hubungan Antar Lembaga

    Saat lulus kuliah, saya melamar kerja sebagai honorer di Pemerintahan Daerah di Provinsi saya, dan saya sangat senang dapat menjadi bagian dari keluarga besar pemerintahan ini. Selama bekerja di sini, saya banyak belajar tentang bagaimana bekerja di lingkungan pemerintahan, menghadapi tantangan, dan meningkatkan kemampuan saya. Semua pengalaman ini telah membuat saya menjadi lebih matang dan siap untuk menghadapi tantangan di masa depan.

  • 2017

    Dinas Tenaga Kerja Dan Transmigrasi @ Magang

    Selama semester 5 di Politeknik Negeri Banjarmasin, saya memiliki kesempatan untuk menjalani magang di Dinas Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Pal 6 Banjarmasin. Saya ditemani oleh 2 sahabat saya, dan kami juga berteman dengan 3 orang lainnya yang magang dari kampus yang berbeda. Kami banyak berbagi pengalaman dan pengetahuan selama magang, dan itu sangat membantu kami untuk memahami dunia kerja dan juga kehidupan kampus. Pengalaman magang ini sangat berkesan bagi saya, dan saya sangat berterima kasih atas kesempatan yang telah diberikan kepada saya.

  • 2014

    Pama Banjarbaru Support Office (BBSO) @ Magang

    Selama masa SMK, saya memiliki kesempatan untuk menjalani magang di Pama Banjarbaru di bagian Logistik selama 2 bulan. Saya tidak memiliki latar belakang yang kuat di bidang Logistik, namun saya tetap bersemangat dan siap untuk belajar. Saya percaya bahwa pengalaman magang ini sangat penting untuk membentuk kemampuan dan meningkatkan pengetahuan saya. Saya berusaha untuk memanfaatkan waktu saya dengan sebaik mungkin dan belajar dari pengalaman tersebut, sehingga saya dapat menjadi lebih siap untuk menghadapi tantangan di masa depan.

Pendidikan

  • 2015-2018

    Politeknik Negeri Banjarmasin @ Lulus

    Kuliah di Poliban selama 3 tahun 6 semester merupakan pengalaman yang sangat berharga bagi saya. Saya memiliki kesempatan untuk bertemu dengan banyak teman, teman organisasi, dan orang-orang hebat yang saya temukan di sini. Meskipun perjalanan ke kampus memakan waktu sekitar 1 jam dengan jarak sekitar 30 km, saya tidak pernah merasa lelah untuk pergi ke kampus setiap hari. Saya sangat bersyukur dapat menemukan banyak hal baru di perkuliahan ini, yaitu ilmu yang sangat bermanfaat yang akan saya gunakan di kehidupan saya nanti dan berharap dapat menjadi lebih baik di masa depan.

  • 2012-2015

    SMK Komputer Mandiri @ Lulus

    Sekolah kejuruan ini merupakan tempat yang ideal bagi saya untuk memperdalam pengetahuan dan keterampilan saya di bidang komputer. Saya memiliki kesempatan untuk bertemu dengan teman-teman yang memiliki minat yang sama, dan kita semua dapat belajar dan berbagi pengetahuan bersama. Saya sangat bersyukur dapat mengambil jurusan yang tepat dan mempersiapkan diri untuk memasuki dunia kerja dengan lebih siap. Saya yakin bahwa pengalaman dan keterampilan yang saya dapatkan di sekolah ini akan sangat bermanfaat bagi saya di masa depan.

  • 2008-2012

    MtsN 2 Gambut @ Lulus

    Pendidikan agama merupakan prioritas bagi orang tua saya, dan mereka ingin saya mengetahui ilmu agama dengan baik supaya saya tidak melupakannya. Mereka selalu mengingatkan saya bahwa bekerja dimanapun dan kapanpun, saya harus tetap ingat dengan Tuhan yang sudah memberikan kehidupan ini kepada saya. Meskipun saya memiliki pengalaman buruk saat sekolah di sini, namun saya tetap berusaha untuk mempelajari ilmu agama dan meningkatkan iman saya. Saya percaya bahwa dengan memiliki landasan agama yang kuat, saya dapat menjadi lebih baik dan lebih bijak dalam menghadapi tantangan hidup, serta lebih dekat dengan Tuhan.

  • 2006-2008

    SDN Landasan Ulin Timur 1 @ Lulus

    Saya memiliki kenangan yang manis saat masuk di SD ini, yaitu saat kelas 2 ketika saya akan menghadapi ujian kenaikan kelas. Pada saat itu, keluarga saya sedang berpindah-pindah rumah, sehingga saya juga harus berpindah-pindah sekolah. Namun, saya sangat senang karena SD ini terletak tidak jauh dari rumah saya, sehingga saya dapat pergi ke sekolah dengan menggunakan sepeda berwarna kuning saya. Saya masih ingat bagaimana saya menikmati perjalanan ke sekolah dan bermain dengan teman-teman saya. Meskipun sekarang banyak hal yang telah berubah, namun kenangan indah tersebut tetap tersimpan di hati saya dan menjadi bagian dari hidup saya.

Hal yang aku bisa

Fotografi
50%
Pemasaran
Menulis
50%
Desain
Coding
50%
Youtuber

Postingan

Berbagi cerita kehidupan


Rabu, 29 Oktober 2025

RASA BERSALAH

 

Rasa bersalah adalah salah satu perasaan paling aneh yang dimiliki manusia. Ia tidak datang secara tiba-tiba seperti marah atau sedih. Ia tidak seheboh kebahagiaan, tidak sekuat amarah, dan tidak sedalam duka. Namun ia bertahan paling lama. Ia berjalan pelan, menempel di hati, dan menetap dalam ruang yang kadang tidak ingin kita sentuh. Ia bisa bersembunyi selama bertahun-tahun, dan tiba-tiba muncul hanya karena satu aroma, satu kalimat, atau satu momen kecil yang tampaknya sepele.

Ada saat-saat dalam hidupku ketika aku merasa bahwa semuanya baik-baik saja. Aku menjalani hari seperti biasa, mencoba menjadi yang terbaik bagi diriku dan orang-orang di sekitarku. Tapi kenyataan tidak selalu sebagus itu. Kadang, di balik tawa kecil yang kutunjukkan, ada perasaan bersalah yang menunggu waktu untuk menegurku. Dan teguran itu sering kali datang ketika aku sedang sendirian—di malam hari, ketika dunia terasa sunyi, ketika suara-suara lain menghilang dan yang tersisa hanya pikiranku sendiri.


Aku masih ingat jelas satu momen yang menjadi awal dari rasa bersalah yang lama kusimpan. Waktu itu aku masih sekolah. Ada seorang teman yang sebenarnya tidak begitu dekat denganku. Dia anak yang pendiam, tidak banyak bicara, dan kadang terlihat seperti berusaha keras untuk sekadar terlihat “ada”. Di kelas, ia sering duduk sendirian. Jika kami sedang bekerja kelompok, ia lebih sering menunggu diajak daripada menawarkan diri untuk bergabung.

Suatu hari, ia menghampiriku. Sebenarnya itu bukan hal besar. Ia hanya ingin meminjam pulpen. Tapi entah kenapa, mungkin karena aku sedang kesal atau lelah, aku menjawab dengan nada yang ketus. “Ambil di meja guru saja,” kataku sambil berpaling, seakan keberadaannya tidak penting.

Ia tidak mengatakan apa-apa, hanya mengangguk dan pergi. Tapi ekspresi wajahnya waktu itu—sekilas sedih namun ditutup dengan senyum tipis yang dipaksakan—entah kenapa tertanam dalam ingatanku hingga hari ini. Mungkin karena setelah kejadian itu, ia semakin jarang berbicara dengan orang lain. Ia makin sering menunduk saat berjalan, makin sering menyendiri bahkan saat jam istirahat.

Aku tidak tahu apakah ucapanku waktu itu benar-benar membuatnya sedih, atau ia memang sedang punya masalah lain. Tapi sejak hari itu, ada sesuatu di dadaku yang terasa berat setiap kali melihatnya. Ada ketukan kecil yang berkata, kamu salah. Namun, seperti kebanyakan orang, aku memilih untuk mengabaikannya.


Rasa bersalah sering kali tidak langsung terasa besar. Ia mulai dari hal-hal kecil, dari kesalahan yang kita anggap sepele. Kita menumpuknya, menutupinya, dan menyimpan semuanya dalam diam. Dan ketika tumpukan itu menjadi terlalu besar, kita baru menyadari bahwa kita sedang memikul sesuatu yang tak pernah kita rencanakan—beban yang tidak tampak, tapi beratnya bisa mengguncang jiwa.

Waktu berlalu. Aku lulus sekolah, masuk jenjang yang lebih tinggi, lalu akhirnya bekerja. Dunia kupikir akan berubah banyak. Dan memang berubah—tapi rasa bersalah tidak ikut pergi. Bahkan ia tumbuh, bertambah besar seiring usiaku. Ia berganti wujud, mengikuti setiap langkah yang kuambil.

Ada lagi momen lain yang membuatku kembali merasakan hal yang sama. Kali ini bukan tentang teman sekolah, tetapi tentang keluarga. Suatu malam, ibuku memanggilku. Ia ingin bercerita tentang sesuatu—tentang hari-harinya, tentang tubuhnya yang mulai lelah, tentang hal-hal kecil yang membuatnya khawatir. Namun waktu itu aku sedang sibuk dengan pekerjaanku. Tanpa menatap wajahnya, aku berkata pelan, “Nanti dulu, Ma. Aku capek.”

Ibuku mengangguk, seperti biasa memahami. Ia tidak pernah menuntut, tidak pernah marah. Tapi setelah masuk ke kamarnya, aku mendengar pintu ditutup perlahan. Sunyi. Dan entah kenapa, malam itu aku tidak bisa tidur. Ada rasa yang mengganjal, seperti ada yang salah, tapi aku tidak tahu harus memulai dari mana untuk memperbaikinya.

Keesokan harinya, ketika aku ingin berbicara dengannya, beliau sedang keluar. Dan ketika malam tiba, aku terlalu sibuk memikirkan hal lain. Begitulah seterusnya. Aku menunda, menunda, dan menunda… sampai akhirnya aku menyadari sesuatu: bukan hanya aku yang semakin dewasa—ibuku juga semakin tua.

Dan dari situ rasa bersalah itu tumbuh lagi. Halus, pelan, tapi menghantam sangat dalam.


Rasa bersalah paling kuat bukan berasal dari kesalahan besar, tetapi dari hal-hal kecil yang kita biarkan berlalu begitu saja.

Dari kata-kata yang tidak kita ucapkan.
Dari perhatian yang tidak sempat diberikan.
Dari janji kecil yang kita tunda sampai lupa.
Dari kesempatan untuk berbuat baik yang kita abaikan.

Dan waktu… tidak pernah menunggu kita untuk memperbaikinya.


Aku akhirnya mengerti bahwa rasa bersalah adalah bagian dari perjalanan manusia. Ia datang untuk memberi kita pemahaman. Ia hadir bukan untuk menghukum, tapi untuk menyadarkan bahwa kita mampu menjadi lebih baik dari diri kita sebelumnya.

Ada orang yang mengatakan bahwa rasa bersalah itu buruk. Bahwa itu hanya membawa luka yang tidak perlu. Tapi bagiku, rasa bersalah adalah cermin. Ia memantulkan bagian diri yang tidak ingin kita akui. Ia memaksa kita menatap sesuatu yang kita tutupi. Dan dengan menatapnya, kita belajar untuk berdamai.

Dalam proses itu, aku belajar banyak hal:

Bahwa tidak apa-apa untuk mengaku salah.
Bahwa meminta maaf bukan tanda kelemahan.
Bahwa memperbaiki sesuatu tidak harus sempurna.
Dan bahwa memaafkan diri sendiri adalah langkah paling sulit, tetapi paling penting.


Ada satu momen yang akhirnya membuka mataku sepenuhnya. Aku bertemu lagi dengan teman sekolahku—anak pendiam yang dulu pernah kupatahkan hatinya tanpa sadar. Ia tidak lagi terlihat pemalu. Ia sudah bekerja, terlihat dewasa, dan lebih percaya diri.

Saat kami bertemu, aku mengira ia akan bersikap canggung atau menjaga jarak. Namun ia justru tersenyum hangat, seolah tidak pernah terjadi apa-apa.

“Masih ingat zaman sekolah dulu?” katanya sambil tertawa kecil.

Aku mengangguk. Jantungku berdetak cepat. Namun sebelum aku sempat menyusun kata untuk meminta maaf, ia berkata:

“Kalau aku dulu banyak diam, itu bukan karena orang lain, tapi karena aku memang begitu sejak kecil. Jadi tenang saja, kamu nggak bikin aku sakit hati kok.”

Kalimat itu… entah kenapa membuatku ingin menangis. Bukan karena isi ucapannya, tapi karena kesadaran bahwa selama ini aku menyiksa diriku sendiri dengan rasa bersalah yang sebenarnya tidak sebesar yang kubayangkan. Terkadang, kita terlalu jahat pada diri sendiri—menghukum diri atas hal-hal yang mungkin tidak sepenuhnya salah.

Namun bukan berarti rasa bersalah itu sia-sia. Justru dari situlah aku belajar bagaimana memperlakukan orang dengan lebih lembut. Aku mulai belajar mendengarkan lebih dalam, memperhatikan lebih banyak, dan menjaga kata-kataku.


Kini aku mengerti satu hal penting:

Rasa bersalah bukan musuh. Ia adalah guru yang tersembunyi.

Ia mengajarkan kita tentang empati.
Ia mengingatkan kita tentang waktu.
Ia menunjukkan bahwa kita peduli.
Ia menuntun kita untuk tidak mengulang kesalahan yang sama.

Dan yang terpenting, ia membuat kita lebih manusiawi.

Kita semua pernah salah.
Kita semua pernah menyakiti tanpa sengaja.
Kita semua punya penyesalan yang sulit dijelaskan.

Namun hidup bukan tentang menghapus masa lalu, tetapi tentang memperbaiki masa depan.


Pada akhirnya, aku belajar untuk memeluk rasa bersalahku, bukan untuk menyimpannya sebagai beban, tetapi sebagai pengingat bahwa aku mampu belajar dan berubah. Aku mulai memberi ruang bagi diriku untuk memaafkan, terutama memaafkan diri sendiri.

Karena jika kita tidak bisa memaafkan diri sendiri, kita tidak akan pernah benar-benar bebas.

Dan sekarang, ketika rasa bersalah itu datang lagi—karena memang ia selalu datang dari waktu ke waktu—aku tidak lagi takut. Aku menatapnya, menarik napas pelan, dan berkata dalam hati:

“Aku tahu kamu ada untuk mengingatkanku. Tapi kali ini, aku tidak akan lari. Aku akan belajar darimu.”

Sebab, pada akhirnya, rasa bersalah hanyalah tanda bahwa kita masih punya hati yang peduli. Dan selama kita bisa belajar darinya, kita tidak pernah benar-benar gagal. - Rezqi Abdina

HADIAH


Ada masa di mana aku percaya bahwa hadiah adalah sesuatu yang selalu bisa disentuh. Bahwa ia hadir dalam bentuk kotak rapi, dibungkus kertas berwarna, dan dihiasi pita cantik di atasnya. Masa ketika aku masih menganggap bahwa kebahagiaan datang dari hal-hal yang terlihat, dari kejutan-kejutan yang diberikan orang lain, atau dari sesuatu yang dapat kupamerkan kepada dunia.

Tapi bertambah usia membuatku mengerti satu hal: tidak semua hadiah bisa digenggam. Ada hadiah yang hadir dalam bentuk pengalaman. Ada hadiah yang bukan berupa benda, melainkan perasaan. Dan ada hadiah yang justru datang dari peristiwa yang awalnya terasa pahit, namun menyimpan hikmah yang menguatkan jiwa.

Perjalanan hiduplah yang akhirnya membuatku memahami hal itu. Perjalanan yang tidak selalu mulus, tidak selalu penuh tawa, tetapi justru dipenuhi oleh kejutan-kejutan yang tidak pernah kuminta. Dan dari semua itu, aku perlahan menyadari bahwa hadiah terbesar sering kali adalah hal-hal yang dulu tak pernah kusadari keberadaannya.


Dulu, aku sering merasa hidup ini tidak adil. Ada saat-saat ketika aku yakin bahwa aku layak mendapatkan lebih, bahwa semua kebaikan yang kulakukan pantas dibalas dengan sesuatu yang besar — pengakuan, kesempatan, atau setidaknya cinta yang tidak pernah kubalas dengan penolakan.

Aku merasa hidup berutang padaku.

Seperti ketika aku bekerja keras di sekolah, berharap nilai sempurna akan datang sebagai penghargaan. Seperti ketika aku berusaha menyenangkan semua orang, menunggu ucapan terima kasih yang tak kunjung tiba. Atau saat aku mencintai seseorang dengan sepenuh hati, tetapi justru menerima kenyataan bahwa ia memilih orang lain.

Pada masa itu, aku sering menanyakan hal yang sama kepada diriku sendiri:

“Kenapa hidup tidak memberi apa yang kuminta?”

Dan saat tidak mendapatkannya, aku merasa marah. Aku merasa kecewa. Seolah dunia memalingkan wajah dan membiarkanku berdiri sendiri—kosong, tanpa hadiah apa pun.

Tapi semakin aku menua, semakin aku menyadari bahwa mungkin, aku lah yang salah memaknai kata “hadiah”.

Karena kehidupan sebenarnya tidak pernah berjanji bahwa ia akan memberi segala yang kita minta. Ia hanya memberi apa yang kita butuhkan, pada saat yang tepat, dengan cara yang kadang tidak kita mengerti.


Salah satu hadiah paling pahit yang pernah kuterima adalah kehilangan. Dan aku yakin, setiap orang punya cerita kehilangan mereka sendiri.

Aku pernah kehilangan seseorang yang sangat kusayangi. Kehilangan yang bukan karena kematian, bukan karena pertengkaran, tetapi karena jarak — jarak yang perlahan menghapus keintiman dan mengubah kedekatan menjadi sekadar kenangan.

Aku masih ingat malam ketika aku menyadari bahwa tak ada lagi pesan yang berbunyi, dan panggilan yang biasa datang setiap malam perlahan menghilang. Ia mulai sibuk, aku mulai diam, dan tanpa sadar, kami berjalan menjauh hingga akhirnya menghilang dari hidup masing-masing.

Awalnya aku marah.

Aku merasa kehidupan mengambil seseorang dariku tanpa alasan. Aku mengira bahwa apa yang hilang itu adalah hukuman, atau mungkin kegagalan. Tapi waktu mengajariku bahwa tidak semua kehilangan adalah akhir yang buruk.

Dalam diam yang ditinggalkannya, aku belajar tentang arti berdiri sendiri. Dalam jarak yang memisahkan kami, aku belajar tentang arti menghargai diri sendiri. Dan dalam luka yang ditinggalkan, aku belajar tentang arti mengikhlaskan.

Ada hadiah yang hanya bisa kita terima setelah kita kehilangan sesuatu atau seseorang. Hadiah berupa ketegaran. Hadiah berupa pemahaman. Hadiah berupa hati yang lebih kuat.

Mungkin, kehilangan memang bukan hadiah yang kuinginkan—but mungkin ia adalah hadiah yang kubutuhkan untuk tumbuh dewasa.


Tidak ada yang ingin gagal. Dan aku pun tidak.

Aku pernah mengejar sesuatu dengan sepenuh tenaga — sebuah kesempatan yang kuimpikan sejak lama. Aku berlatih, belajar, mempersiapkan diri. Aku berharap bahwa semua perjuangan itu akan membayar. Bahwa akhirnya aku akan mendapatkan apa yang layak kuterima.

Tapi hidup berkata lain.

Pada hari yang menentukan, aku gagal.

Dan pada saat itu, dunia serasa berhenti. Aku merasa semua usahaku sia-sia. Aku bertanya lagi dalam hati:

“Jika aku sudah berjuang, kenapa aku tidak mendapatkannya?”

Selama beberapa waktu, aku tenggelam dalam penyesalan. Aku menyalahkan diri sendiri. Aku merasa tidak berguna. Tapi setelah badai itu mereda, aku menyadari sesuatu.

Gagal bukan berarti tidak layak. Gagal bukan berarti usaha kita tidak dihargai oleh kehidupan.

Terkadang, kegagalan hadir untuk mengarahkan kita ke jalur yang lebih tepat. Untuk mendorong kita melihat dari sudut pandang lain. Untuk mengajarkan bahwa yang kita inginkan mungkin bukan yang terbaik untuk kita.

Kegagalan itu, meski tidak manis, adalah hadiah yang menyamar. Hadiah yang tidak dibalut dengan kertas indah, tapi mengandung pelajaran paling berharga.

Karena dari kegagalan, aku belajar sesuatu yang tidak pernah diajarkan oleh kemenangan:

Bahwa apa pun hasilnya, kita tetap berharga.


Ada orang-orang yang hadir dalam hidup kita sebentar saja, lalu pergi. Mereka datang seperti angin — menyapa, memberi sedikit kehangatan, lalu hilang tanpa jejak. Dan meski mereka hanya tinggal sejenak, pengaruhnya bisa menetap seumur hidup.

Aku pernah bertemu seseorang seperti itu. Ia bukan teman dekat, bukan kekasih, bahkan bukan seseorang yang selalu hadir. Tapi dari waktunya yang singkat, ia meninggalkan sesuatu yang tidak bisa kulupakan: cara pandangnya terhadap kehidupan.

Ia tipe orang yang melihat dunia dengan mata yang berbeda. Ia bisa melihat kebaikan dalam hal kecil. Ia bisa tertawa meski hari berjalan berat. Ia bisa mengatakan kata-kata sederhana yang membuat hati terasa lebih ringan.

Kami tidak lama bersama. Hidup membawa kami ke arah berbeda. Jalan kami terpisah, dan komunikasi perlahan memudar.

Tapi kehadirannya, walau singkat, adalah hadiah. Hadiah berupa perspektif baru. Hadiah berupa keberanian untuk lebih menghargai diri sendiri. Hadiah berupa keyakinan bahwa kadang seseorang memang datang hanya untuk memberi “pengingat” kecil yang akan kita bawa selamanya.

Tidak semua orang yang pergi adalah kehilangan. Ada yang hadir hanya untuk mengajarkan sesuatu—lalu melanjutkan perjalanannya.

Dan itu pun sebuah hadiah.


Bertambahnya usia membuatku belajar untuk memperhatikan hal-hal kecil yang dulu sering kuabaikan.

Dulu, aku menginginkan hal-hal besar. Hadiah mewah. Prestasi tinggi. Capaian yang tampak bersinar. Tetapi sekarang, hidup mengajariku bahwa justru hal-hal sederhana lah yang menyimpan makna terbesar.

Senyum ibu saat menyambutku pulang.
Nasehat ayah yang suaranya kadang terdengar tegas tapi sebenarnya penuh kasih.
Tawa teman-teman yang membuatku merasa tidak sendirian.
Udara pagi yang sejuk.
Matahari yang terbit setiap hari tanpa diminta.
Badan yang sehat, meski tidak sempurna.
Waktu yang masih diberikan Tuhan hari ini.

Dulu aku tidak menyadarinya.
Dulu aku merasa itu semua biasa saja.

Tapi kini aku mengerti:
Semua itu adalah hadiah. Hadiah yang datang setiap hari, tetapi tidak semua orang menyadarinya.

Kesederhanaan ternyata adalah bentuk hadiah paling tulus, karena ia hadir tanpa pamrih, tanpa perayaan, tanpa menuntut balasan.


Aku pernah menerima hadiah yang tidak kuminta — sebuah pengalaman buruk yang mengubah hidupku.

Itu terjadi ketika aku mengalami masa paling gelap dalam hidupku. Masa ketika aku kehilangan arah, kehilangan semangat, dan hampir menyerah. Tidak ada yang berjalan sesuai harapan. Tidak ada hal yang terasa benar. Aku merasa hidup berhenti memberi apa pun kepadaku.

Tapi justru di masa itu aku belajar sesuatu:
Bahwa bahkan kejatuhan pun bisa menjadi hadiah—jika kita mengizinkannya.

Saat aku jatuh, aku ternyata menemukan hal-hal yang dulu tak pernah kulihat:

Aku menemukan manusia-manusia baik yang peduli tanpa diminta.
Aku menemukan diriku sendiri yang ternyata lebih kuat dari yang kukira.
Aku menemukan bahwa Tuhan tidak pernah meninggalkan, hanya mengarahkan.
Aku menemukan bahwa ketidakpastian pun mengandung harapan.

Dan dari sana aku belajar, bahwa hadiah tidak selalu hadir dalam bentuk yang menyenangkan. Kadang ia hadir dalam bentuk badai. Karena badai lah yang membuat akar tumbuh lebih dalam.


Pada akhirnya, pemahaman paling penting tentang hadiah bukan pada bentuknya, bukan pada ukurannya, tetapi pada cara kita menerimanya.

Hadiah terbesar dalam hidup tidak selalu berupa sesuatu yang baru, tetapi cara kita melihat apa yang sudah ada.

Ketika kita berhenti menuntut, kita mulai menerima.
Ketika kita berhenti membandingkan, kita mulai bersyukur.
Ketika kita berhenti mengejar yang jauh, kita mulai melihat yang dekat.

Dan di situlah hadiah sebenarnya berada — bukan di masa depan, bukan di tempat yang jauh, tetapi di sini, di saat ini.

Dalam napas yang masih hangat.
Dalam langkah yang masih bisa dilakukan.
Dalam hati yang masih mampu mencintai.

Semua itu adalah hadiah yang jarang kita sadari.


Sekarang, ketika aku menatap perjalanan panjang hidupku, aku mulai mengerti bahwa semua yang pernah terjadi — yang manis, yang pahit, yang membuat bahagia, maupun yang membuat hati hancur — semuanya adalah bagian dari hadiah.

Hidup tidak perlu sempurna untuk menjadi berharga.
Dan hadiah tidak harus besar untuk berarti.

Kadang, hanya dengan bisa bangun pagi, tersenyum pada diri sendiri, dan berkata “Aku baik-baik saja”, itu pun sudah merupakan hadiah luar biasa.

Karena pada akhirnya, kita tidak benar-benar hidup untuk mengejar hadiah — kita hidup untuk menyadari bahwa kehidupan itu sendiri adalah hadiah terindah yang Tuhan berikan. Dan tugas kita hanyalah menjalaninya dengan kesadaran dan rasa terima kasih.


Hidup selalu memberi.
Hanya saja, dulu aku terlalu sibuk mencari yang besar hingga lupa melihat yang sederhana.

Kini aku belajar.
Bahwa setiap nafas adalah karunia.
Setiap pertemuan adalah pelajaran.
Setiap kehilangan adalah pertumbuhan.
Setiap luka adalah pendewasaan.
Setiap harapan adalah kekuatan.

MASA DEPAN DAN MASA LALU

 

Ada satu hal yang selalu berhasil mengusikku, bahkan ketika aku berusaha mengabaikannya: masa depan. Entah sejak kapan aku mulai memikirkan hal itu secara berlebihan. Mungkin sejak aku menyadari bahwa waktu tidak pernah berhenti. Atau mungkin sejak aku menyadari bahwa menjadi dewasa berarti menanggung berbagai jenis ketakutan yang dulu tak pernah terpikirkan.

Setiap kali aku melihat ke depan, ada ketidakpastian yang menggantung seperti kabut tebal. Kabut itu tidak selalu menakutkan, tetapi cukup gelap untuk membuatku berhenti pada beberapa langkah tertentu. Di dalam kabut itu ada pertanyaan-pertanyaan tanpa jawaban:

“Apakah aku akan berhasil?”
“Apakah aku membuat keputusan yang benar?”
“Apakah aku akan menjadi seseorang yang aku banggakan suatu hari nanti?”

Semua pertanyaan itu seperti suara kecil yang tak pernah benar-benar berhenti. Ia tidak berteriak, tapi selalu ada… menipiskan rasa tenang yang seharusnya bisa kurasakan setiap kali aku mencoba beristirahat dari dunia yang bergerak terlalu cepat.

Namun di saat yang sama, masa lalu berdiri seperti bayangan yang tidak pernah mau benar-benar pergi. Ia tidak menakutkan, tetapi memiliki cara unik untuk membuatku tersenyum sekaligus merasakan sedikit perih. Masa lalu bukan hanya tentang penyesalan; ia juga tentang ingatan-ingatan yang membentuk diriku, entah aku menyadarinya atau tidak.


Aku masih bisa melihat dengan jelas bagaimana diriku di masa sekolah dulu. Seorang anak yang pemalu, sedikit keras kepala, tidak terlalu pandai menunjukkan perasaan, dan mencoba menjadi kuat meski tidak selalu tahu bagaimana caranya. Ada masa-masa ketika aku ingin sekali kembali dan menepuk bahu diriku yang dulu sambil berkata,

“Tenang saja, semuanya tidak seburuk yang kamu kira.”

Tapi tentu saja, waktu bukan sesuatu yang bisa kutarik mundur. Ia adalah sesuatu yang berjalan lurus, maju tanpa kompromi. Namun menariknya, meski ia maju, ia meninggalkan jejak yang bisa kulihat kapan pun aku membutuhkannya.

Seperti ketika guru semasa SMK pernah berkata,
“Kamu tidak bisa maju kalau terus menatap ke belakang, Qi.”

Waktu itu aku hanya mengangguk—karena aku pikir itu hanya kalimat motivasi biasa yang sering didengar di sekolah.

Tapi semakin dewasa aku, semakin aku merasa bahwa kalimat itu seperti petunjuk kecil yang sengaja ditinggalkan untukku. Kalimat yang baru benar-benar kupahami setelah beberapa tahun berlalu.

Masa lalu tidak selalu menyakitkan. Kadang ia berupa momen kecil yang hangat:

— tawa teman-teman saat pulang sekolah,
— suara ibu yang memanggil dari dapur,
— aroma hujan yang dulu terasa lebih menenangkan,
— mimpi-mimpi yang begitu besar saat itu, bahkan terlalu besar untuk ukuran anak seusia itu.

Dan dari semua itu, aku memahami satu hal: tidak ada yang benar-benar hilang. Semua hanya berubah bentuk. Apa yang dulu kukenal sebagai harapan masa kecil kini berubah menjadi realita yang harus kuhadapi dengan dewasa.


Bukan hanya kenangan indah yang melekat di masa lalu. Ada juga hal-hal yang sering membuatku menghela napas panjang.

Kesempatan yang terlewat.
Keputusan yang salah.
Kata-kata yang seharusnya tidak kuucapkan.
Perpisahan yang terjadi tanpa benar-benar kusiapkan hati.

Seperti semua orang, aku juga memiliki daftar penyesalanku sendiri. Biasanya, penyesalan itu muncul bukan karena sesuatu yang besar, tetapi karena hal-hal kecil yang saat itu kupikir tidak berarti—padahal diam-diam membawaku pada jalan yang berbeda.

Aku pernah berandai-andai:

“Seandainya dulu aku memilih ini…”
“Seandainya dulu aku berani melangkah ke sana…”
“Seandainya dulu aku tidak takut mencoba…”

Namun kemudian aku bertanya pada diriku sendiri:

Kalau waktu benar-benar bisa kuputar kembali, apakah benar aku akan memilih jalan yang berbeda?
Dan kalau iya, apa itu menjamin hidupku lebih baik dari sekarang?

Tidak ada yang bisa menjawab itu. Bahkan aku pun tidak.

Pada titik itulah aku mulai sadar bahwa menahan masa lalu hanya akan melukai diri sendiri. Penyesalan bukan untuk diperbaiki—karena waktu tidak bisa disusun ulang. Penyesalan hanya untuk dipahami. Untuk dijadikan pondasi agar langkah berikutnya lebih kuat dan lebih bijak.

Masa lalu bukan musuh. Ia hanya versi lama dari diriku yang ingin didengar sebentar sebelum aku melangkah lagi.


Kalau masa lalu mengajarkanku tentang memahami dan menerima, masa depan mengajarkanku tentang keberanian.

Ada saat ketika aku takut sekali menatap ke depan. Bukan karena aku tidak punya mimpi, tapi karena aku sadar bahwa mimpi membutuhkan risiko dan kerja keras yang tidak sedikit.

Aku takut gagal.
Takut mengecewakan orang-orang yang percaya padaku.
Takut memilih langkah yang salah.
Takut membuat keputusan yang nanti akan kusalahkan.

Namun perlahan aku mengerti bahwa ketakutan itu sebenarnya wajar. Semua orang memilikinya. Tidak ada yang benar-benar tahu apa yang akan terjadi besok, satu jam lagi, atau bahkan satu menit ke depan.

Masa depan tidak membutuhkan kita menjadi sempurna.
Ia hanya butuh kita berani melangkah, meski takut.

Aku belajar bahwa keberanian bukan tentang tidak merasa takut, tetapi tentang tetap berjalan meski rasa takut itu ada.


Dari mana pun aku melihatnya, hari ini selalu menjadi waktu yang paling jujur. Tidak seperti masa lalu yang tidak bisa kuubah atau masa depan yang tidak bisa kutebak, hari ini adalah ruang di mana aku benar-benar bisa memilih, menentukan, dan melakukan sesuatu.

Jika masa lalu adalah guru, dan masa depan adalah misteri, maka hari ini adalah tempat aku menerjemahkan keduanya menjadi tindakan.

Hari ini adalah titik temu.
Hari ini adalah jembatan.
Hari ini adalah tempat semua waktu bersinggungan.

Ada hari-hari ketika aku terlalu fokus menatap masa depan, hingga lupa merasakan angin yang menyentuh kulitku hari ini. Ada masa ketika aku terlalu sibuk menyesali masa lalu hingga tidak memperhatikan nikmat sederhana yang ada di depan mata.

Aku sering lupa bahwa hidup itu terjadi sekarang, bukan kemarin, bukan besok.

Maka perlahan aku mulai belajar:

— menikmati secangkir kopi tanpa tergesa-gesa,
— menghargai percakapan kecil dengan orang tua,
— tersenyum pada diriku sendiri ketika pagi terasa berat,
— memberi izin pada diriku untuk tidak sempurna,
— dan merasa cukup untuk hal-hal sederhana yang dulu terasa biasa saja.


Berdamai dengan masa lalu bukan berarti melupakan, tetapi memahami bahwa aku sudah melakukan yang terbaik dari versiku yang dulu.

Berdamai dengan masa depan bukan berarti berhenti bermimpi, tetapi menerima bahwa tidak semua yang kuharapkan harus terjadi sesuai rencana.

Aku belajar bahwa kedewasaan datang bukan dari usia, melainkan dari kesadaran bahwa segala sesuatu memiliki waktunya masing-masing.

Ada waktu untuk menyesal, ada waktu untuk menerima.
Ada waktu untuk mengejar, ada waktu untuk melepaskan.
Ada waktu untuk berharap, ada waktu untuk bersyukur atas apa yang sudah ada.

Dan yang paling penting, ada waktu untuk berhenti sejenak dan menyadari bahwa aku tidak harus menyelesaikan semuanya sekaligus.


Sering kali kita hanya fokus pada hasil. Kita ingin sukses, ingin bahagia, ingin merasa tenang—tanpa melihat bahwa semuanya itu adalah hasil dari proses panjang yang diam-diam membentuk kita.

Mungkin aku belum sampai pada titik yang kuinginkan.
Mungkin aku masih belajar berjalan di jalan yang belum sepenuhnya kupahami.
Mungkin aku masih sering goyah.

Tapi itu tidak apa-apa.

Karena setiap langkah kecil tetaplah langkah. Dan setiap detik yang berlalu tetap membawaku lebih dekat pada diriku yang ingin aku banggakan suatu hari nanti.


Ada satu kalimat yang sering kuulang dalam hati:

“Aku tidak harus tahu semuanya sekarang.”

Dan kalimat itu—sesederhana apa pun—selalu berhasil memberiku sedikit ketenangan.

Masa depan bukan untuk ditakuti. Ia untuk disambut perlahan-lahan, dengan cara yang tidak menyakiti diri sendiri. Masa depan bukan tentang memaksakan diri untuk sempurna, tetapi tentang menyiapkan diri untuk berubah sedikit demi sedikit.

Karena pada akhirnya… masa depan dibangun dari keberanian untuk terus melangkah, meski kita tidak tahu ke mana arah kabut itu akan menuntun.


Setelah semua perjalanan batin antara masa lalu dan masa depan, aku menyadari satu hal penting:

Hidup tidak pernah meminta kita menjadi sempurna.
Hidup hanya meminta kita memahami.

Memahami bahwa masa lalu adalah tempat kita belajar.
Masa depan adalah tempat kita berharap.
Dan hari ini adalah tempat kita tinggal.

Jika kita terus menatap ke belakang, kita tidak akan pernah maju.
Jika kita terlalu fokus ke depan, kita akan kehilangan makna saat ini.
Maka hiduplah di tengah-tengahnya—di ruang kecil bernama sekarang.

Jangan biarkan masa lalu mengurung langkahmu.
Jangan biarkan masa depan menakutimu.

Karena di antara dua waktu itu, ada dirimu yang sedang berjuang…
dan itu sudah lebih dari cukup. — Rezqi Abdina

AKHIR DARI CERITA

 


Setiap cerita pasti memiliki akhir. Tidak peduli seberapa kuat kita ingin mempertahankannya, setiap sesuatu yang pernah dimulai suatu hari nanti akan menyentuh garis penutupnya. Namun, yang sering kali terlupakan adalah bahwa akhir tidak selalu bermakna kegelapan, kehilangan, atau perpisahan selamanya. Ada akhir yang mengantar kita pada harapan baru. Ada akhir yang menjadi jembatan menuju babak berikutnya. Ada akhir yang justru menyelamatkan kita.

Tapi dulu, bagiku kata akhir selalu berarti kehilangannya saja — kehilangan orang, kehilangan tempat, kehilangan kebiasaan, atau kehilangan bagian dari diriku sendiri.

Aku pernah takut pada kata itu. Takut bahwa selesai berarti tidak ada lagi peluang untuk memperbaiki. Takut bahwa selesai berarti gagal. Takut bahwa selesai berarti aku tidak memiliki apa pun lagi untuk diperjuangkan.

Namun tahun-tahun berlalu, dan aku banyak berpisah dengan hal-hal yang dulu kupikir akan selalu bertahan. Dari situlah aku mengerti sesuatu yang tidak pernah kupertimbangkan sebelumnya:

Akhir bukan sekadar berhenti.
Akhir adalah bentuk kehidupan yang lain.


Aku ingat dengan jelas hari ketika masa sekolahku berakhir.

Langit siang itu cerah, terlalu cerah untuk sebuah perpisahan. Semua orang mengenakan seragam terakhir kalinya — ada yang menulis nama teman-teman di bajunya, ada yang mencoret seragam dengan spidol warna-warni, ada yang saling berlarian sambil tertawa seperti hari-hari biasa.

Tapi aku tahu itu bukan hari biasa.

Di tengah keramaian, aku berdiri agak jauh, memperhatikan wajah-wajah yang pernah mengisi hari-hariku. Teman yang selalu datang terlambat, teman yang suka meminjam pulpen tapi tak pernah mengembalikannya, teman yang duduk di pojok kelas karena malas berinteraksi, teman-teman yang menemani makan siang di kantin, dan guru-guru yang dulu terasa membosankan namun kini rasanya terlalu cepat ditinggalkan.

Aku tersenyum, meski ada sesuatu yang berat menempel di dadaku.

Aku tahu setelah hari itu, kami tak lagi berada di ruang yang sama. Setelah hari itu, kami akan menjadi tokoh utama dari cerita masing-masing — tidak lagi saling muncul di bab satu sama lain, setidaknya tidak sesering dulu.

Aku mencoba menahan perasaan itu, tapi siapa yang bisa menahan akhir?

Tidak ada.

Aku bahkan sempat memalingkan wajah ketika seseorang memanggilku untuk berfoto bersama, karena aku tahu jika aku menatap wajah-wajah mereka terlalu lama, aku akan menangis. Aku tidak ingin hari itu berakhir dengan air mata. Tapi justru inilah yang membuatku lebih emosional: aku tahu, tawa-tawa itu tidak akan terdengar sama lagi di masa depan.

Siang itu kami berfoto, tertawa, saling memeluk, dan berjanji akan tetap berkomunikasi.

Namun waktu membuktikan sesuatu yang menyedihkan:
Tidak semua yang berjanji akan bertahan.
Tidak semua yang akrab akan tetap dekat.
Tidak semua yang hadir akan tetap ada.

Tapi di situlah aku belajar pelajaran pertama tentang akhir:

Bahwa perpisahan bukan hanya tentang “siapa yang pergi”, tetapi tentang “siapa yang bertahan di hati meski jarak memisahkan.”


Beberapa tahun setelah perpisahan itu, ketika aku sudah bekerja dan hidup semakin sibuk, suatu malam aku membuka galeri ponsel. Aku tidak tahu kenapa tanganku memilih untuk membuka folder foto lama. Rasanya seperti panggilan kecil dari hati yang ingin mengingat kembali bagian diriku yang telah lama kutinggalkan.

Aku melihat foto-foto lama itu.

Seragam yang penuh coretan.
Wajah-wajah muda yang belum lelah.
Tawa-tawa yang belum terkikis masalah hidup.
Teman-teman yang kini terasa asing.

Ada satu foto yang membuatku terdiam cukup lama — foto bersama empat orang sahabatku, lengkap dengan ekspresi konyol khas anak sekolah yang tak peduli penampilan. Di foto itu kami terlihat begitu bahagia, seolah dunia tidak pernah benar-benar menyulitkan.

Aku tersenyum, namun entah bagaimana, ada rasa hampa yang ikut hadir.

Aku tahu kami semua sudah berubah.
Ada yang menikah.
Ada yang pindah kota.
Ada yang sibuk mengejar karier.
Ada yang tak lagi bisa kuhubungi.

Bukan karena kami bertengkar.
Bukan karena kami saling menjauh dengan sengaja.

Hanya karena hidup membawa kami ke arah masing-masing — seperti daun-daun yang diterbangkan angin ke tempat berbeda-beda.

Melihat foto-foto itu membuatku sadar bahwa waktu tidak pernah benar-benar berhenti, bahkan ketika kita ingin sekali mengulang sesuatu. Dan kehilangan tidak selalu terjadi karena seseorang pergi… terkadang kita kehilangan karena kita tumbuh.

Saat itulah aku menyadari sesuatu yang penting:

Beberapa cerita tidak berakhir karena rusak.
Beberapa cerita berakhir karena memang sudah waktunya.


Tidak semua akhir datang dengan salam perpisahan yang manis. Ada akhir yang datang diam-diam, menghapus sesuatu dari hidup kita tanpa menunggu kesiapan kita.

Ada hubungan yang berakhir tanpa penjelasan.
Ada orang yang pergi tanpa pamit.
Ada mimpi yang tak bisa dipertahankan meski sudah diperjuangkan habis-habisan.

Aku pernah mengalami itu.

Pernah ada seseorang yang begitu dekat denganku. Kami berbicara setiap hari, saling mendukung, saling menguatkan, saling mempersiapkan masa depan seolah kami akan berjalan bersama.

Namun tiba-tiba semua berubah.

Tanpa pertengkaran, tanpa drama, tanpa perpisahan yang jelas. Komunikasi perlahan berkurang, percakapan menjadi dingin, hingga akhirnya terasa seperti berbicara dengan orang asing.

Saat itu aku bertanya-tanya:

“Apa yang salah?”
“Apa aku terlalu menuntut?”
“Apa aku sudah tidak cukup?”

Aku mencoba memperbaiki, mencoba berbicara, mencoba berusaha agar hubungan itu tetap hidup.

Tapi perlahan aku sadar bahwa aku tidak bisa memaksa seseorang untuk tetap tinggal.
Tidak bisa memaksa sesuatu untuk bertahan.
Tidak bisa memaksakan cerita yang memang sudah mencapai bab terakhirnya.

Akhir yang seperti itu menyakitkan.
Sangat menyakitkan.

Tapi itulah kenyataannya:

Tidak semua yang kita jaga akan bertahan.
Tidak semua yang kita perjuangkan akan kembali.
Tidak semua yang kita cintai akan menetap.

Dan itu bukan salah siapa pun.

Itu hanya bagian dari hidup yang sering tak ingin kita pahami.


Dulu aku berpikir bahwa mempertahankan adalah bentuk cinta paling kuat.

Tapi setelah belajar dari berbagai kehilangan, aku menyadari sesuatu:

Kadang melepaskan justru adalah bentuk cinta yang paling dewasa.

Karena mempertahankan sesuatu yang sudah tidak ingin tinggal hanya akan melukai kita, juga melukai mereka.
Karena memaksa cerita tetap hidup padahal tokohnya sudah ingin pergi hanya akan membuat luka semakin dalam.

Melepaskan bukan berarti menyerah.
Melepaskan bukan berarti kalah.
Melepaskan bukan berarti tidak peduli.

Melepaskan adalah bentuk pengakuan yang paling jujur bahwa:

“Cerita ini sudah selesai, meski aku masih ingin bertahan di dalamnya.”

Ketika aku belajar melepaskan, aku mulai memahami nilai lain dari sebuah akhir:

Akhir mengajarkan kita untuk kembali melihat diri sendiri.
Akhir memaksa kita untuk tumbuh.
Akhir membuka ruang untuk hal baru datang.

Dan yang terpenting:
Akhir membuat kita menghargai proses.


Dulu aku selalu fokus pada apa yang hilang ketika cerita berakhir. Namun belakangan aku menyadari bahwa setiap akhir selalu meninggalkan sesuatu — bukan hanya kesedihan, tetapi juga pelajaran.

Ada hubungan yang berakhir, tetapi membuatku belajar menjadi lebih dewasa.
Ada mimpi yang gagal, tetapi membuatku menemukan jalan baru yang lebih cocok.
Ada pertemanan yang menjauh, tetapi membuatku bertemu orang-orang baru yang lebih sejalan.

Akhir bukan hanya menutup pintu.
Akhir juga membuka pintu lain.

Dalam diam, tanpa kita sadari.

Seperti matahari terbenam yang selalu diikuti oleh matahari terbit.
Seperti malam panjang yang selalu berganti pagi.

Akhir bukan titik.
Akhir adalah tanda koma — jeda sebelum kalimat berikutnya dimulai.

Dan ketika aku mulai memahami itu, aku menjalani hidup dengan lebih tenang. Aku tidak lagi memaksakan hal-hal yang ingin pergi. Aku tidak lagi memaksa sesuatu untuk tetap sama selamanya.

Karena aku tahu sekarang:

Setiap bab yang selesai memberi ruang agar bab berikutnya bisa lahir.


Ada kalanya aku masih merasa berat ketika harus melepaskan sesuatu.

Ada kalanya aku masih merindukan masa lalu.
Ada kalanya aku masih ingin kembali ke momen tertentu dan berkata:

“Bisakah kita ulangi? Aku belum siap ini berakhir.”

Namun hidup tidak pernah menawarkan tombol rewind.

Hidup hanya mengajarkan kita untuk bergerak maju — meski langkah itu berat, meski hati itu masih ingin tinggal.

Bahkan ketika tak ada hal buruk yang terjadi pun, cerita tetap bisa berakhir.

Teman baik bisa menjadi asing.
Tempat nyaman bisa menjadi kenangan.
Rasa sayang bisa berubah bentuk.
Dan diri sendiri pun bisa berubah lebih cepat dari yang kupikirkan.

Pada akhirnya, aku belajar bahwa:

Tidak ada yang tinggal selamanya.
Tapi tidak semua yang pergi benar-benar hilang.

Beberapa tetap tinggal dalam ingatan, dalam hati, dalam cara kita memandang dunia.

Cerita mungkin berakhir, tetapi pengaruhnya tidak.


Akhir mengajarkanku banyak hal:

Bahwa tidak semua orang yang hadir akan menemani sampai akhir hidup.
Bahwa tidak semua perjuangan akan menghasilkan kemenangan.
Bahwa tidak semua pertemuan ditakdirkan menjadi selamanya.

Akhir mengajariku kekuatan.
Akhir mengajariku keberanian.
Akhir mengajariku ikhlas.
Akhir mengajariku untuk tidak menggantungkan kebahagiaan pada sesuatu yang tidak bisa dikendalikan.

Di titik tertentu, aku menyadari bahwa akhir adalah guru paling sabar dalam hidup ini.

Ia tidak mengajariku dengan kata-kata, tetapi dengan kehilangan.
Ia tidak memberikan penjelasan, tetapi memberikan kesadaran.
Ia tidak membuatku mengerti tiba-tiba, tetapi perlahan—setiap kali aku mengalami sesuatu yang selesai.


Kini aku tidak lagi terlalu takut pada kata akhir.

Aku belajar menyambutnya dengan tenang, bahkan dengan senyum kecil, karena aku tahu setiap akhir adalah tanda bahwa aku telah melalui sesuatu.

Akhir membuktikan bahwa aku pernah berjuang.
Akhir membuktikan bahwa aku pernah memiliki sesuatu yang berarti.
Akhir membuktikan bahwa aku pernah jatuh cinta, pernah percaya, pernah berharap, pernah berusaha.

Akhir membuktikan bahwa aku pernah hidup.

Dan yang paling indah dari semua ini adalah pemahaman bahwa:

Yang menentukan siapa kita bukanlah bagaimana cerita itu berakhir, tetapi bagaimana kita menjalani setiap halaman sebelum sampai ke sana.

Jadi, ketika akhir itu tiba — entah dalam bentuk apa pun — aku ingin bisa berkata dengan tenang:

“Aku sudah menjalaninya dengan baik.”

Karena sesungguhnya, tidak ada cerita yang benar-benar berakhir.
Selalu ada ruang untuk cerita yang lain.
Selalu ada kesempatan untuk memulai lagi.
Selalu ada halaman baru yang menunggu kita membukanya. — Rezqi Abdina

MENEPATI SEBUAH JANJI

 


Janji adalah sesuatu yang mudah diucapkan namun sering kali berat diwujudkan. Kata-katanya ringan, hanya sebaris kalimat yang meluncur dari mulut tanpa beban. Namun bagi seseorang yang mendengarnya, sebuah janji dapat menjadi alasan untuk tetap berharap, tetap tersenyum, atau tetap percaya bahwa ia tidak sendirian di dunia ini.

Aku butuh waktu lama untuk memahami hal sesederhana itu. Mungkin karena manusia memang terbiasa memandang segala sesuatu dari sudut kepentingannya sendiri, tanpa benar-benar mempertimbangkan apa yang dirasakan orang lain. Aku pun pernah menjadi bagian dari manusia yang demikian—mengucapkan janji dengan mudahnya, seolah itu tidak lebih dari sekadar angin yang lewat.

Namun suatu kejadian di masa lalu membuatku berhenti dan berpikir ulang tentang arti janji itu sendiri. Ada satu janji yang kelihatannya sepele, sederhana, bahkan mungkin konyol bagi sebagian orang. Tapi bagi seseorang yang pernah mempercayai ucapanku, janji itu adalah harapan kecil yang memancarkan cahaya. Dan ketika aku gagal menepatinya, aku menyaksikan sendiri bagaimana cahaya itu padam di depan mataku.

Cerita ini bukan tentang menyalahkan keadaan atau menjustifikasi kesalahan. Ini adalah cerita tentang sebuah pelajaran—pelajaran yang datang dari pengalaman pahit, hingga akhirnya membuatku memahami betapa berharganya sebuah janji yang ditepati.


Semuanya berawal pada suatu sore yang sejuk. Langit sedang biru, langit yang jarang kulihat belakangan karena pekerjaan sering mengunci waktuku di dalam ruangan berlampu putih. Hari itu, aku menyempatkan pulang lebih awal, sesuatu yang tak biasa.

Di depan rumah, aku melihat seseorang yang sudah seperti adik bagiku sendiri: Rani, anak tetangga yang sejak kecil sering bermain dan bercerita padaku. Usianya waktu itu sekitar 14 tahun—masa yang rawan, masa di mana seseorang merindukan sosok yang bisa ia percaya.

“Aaaa, kakak pulang!” serunya sambil berlari kecil menghampiri pagar.

Aku tersenyum. Ada sesuatu dari antusiasmenya yang selalu membuatku merasa ringan, seolah dunia tidak seberat itu. Rani adalah tipe anak yang penuh semangat namun sensitif—mudah tersenyum, tapi juga mudah menyimpan kecewa.

“Ada apa, Ran? Kok semangat banget?” tanyaku sambil tertawa.

Ia menunjukkan selembar kertas yang terlipat empat, lalu merentangkannya sehingga terlihat seperti poster mini.

“Kak, ini... minggu depan aku tampil baca puisi di acara sekolah! Kata guru, orang tua boleh datang, keluarga atau siapa saja... pokoknya aku mau kakak datang,” katanya sambil menatapku penuh harap.

Ada sesuatu di matanya waktu itu—sebuah cahaya kecil, murni, dan jujur. Cahaya harapan seorang anak yang jarang mendapat dukungan dari orang tuanya yang sibuk bertengkar dan kemudian bercerai. Rani tumbuh dengan banyak kekurangan dalam hal perhatian.

Mungkin karena itu, ia selalu memandangku sebagai sosok dewasa yang bisa ia andalkan.

“Tentu, kakak pasti datang,” jawabku tanpa berpikir panjang.

Senyumnya langsung mengembang. “Benar ya? Jangan lupa ya, Kak. Jam sembilan pagi. Di aula sekolah.”

“Iya, Ran. Kakak janji.”

Ia mengangguk mantap, seolah satu kalimat itu—aku janji—adalah jaminan paling kuat di dunia.

Seandainya waktu itu aku tahu betapa besar makna kalimat itu baginya, mungkin aku akan mengucapkannya dengan lebih hati-hati.


Satu minggu berlalu begitu cepat. Hari demi hari berlalu dengan rutinitas pekerjaan yang semakin menumpuk. Kantor sedang dalam masa audit internal, dan sebagai salah satu staf yang bertanggung jawab dalam penyusunan laporan, aku menjadi orang yang tidak bisa jauh dari meja, komputer, dan tumpukan berkas yang tak ada habisnya.

Namun meski demikian, di kepalaku selalu ada satu pengingat kecil: janji pada Rani.

Aku menandai tanggalnya, memasang alarm di ponsel, bahkan menyiapkan pakaian agar tidak kebingungan di pagi hari. Aku berniat untuk menepati janji itu. Aku ingin melihat Rani tampil. Aku ingin menjadi seseorang yang menepati ucapannya.

Namun hidup, seperti biasa, punya caranya sendiri untuk menguji manusia.

Malam sebelum hari acara, seorang rekan kerja mengirim pesan:

“Besok jangan lupa, kita harus selesaikan berkas cek final. Pimpinan minta jam 10 pagi sudah ada di mejanya.”

Aku terdiam.

Jam 10 pagi, sementara acara Rani dimulai pukul 9.

Aku mencoba tidur, tetapi pikiranku penuh dengan kemungkinan-kemungkinan. Bisa saja aku datang sebentar, melihat Rani tampil, lalu kembali ke kantor. Tapi keadaan tidak sesederhana itu. Jika aku terlambat, seluruh tim bisa kena tegur.

Pada akhirnya aku memutuskan: aku akan berusaha datang. Aku akan berangkat lebih pagi, melihat Rani tampil, lalu cepat-cepat ke kantor.

Tapi hidup sekali lagi menunjukkan ironi yang kerap ia miliki: semakin kita berusaha mengatur waktu, semakin ia memperlihatkan bahwa kita sebenarnya tidak pernah benar-benar berkuasa.


Aku bangun lebih pagi dari biasanya. Pukul 6 aku sudah mandi dan bersiap. Aku bahkan sudah menyiapkan tas sejak malam.

Namun tepat ketika aku hendak berangkat, sebuah telepon dari kantor masuk:

“Kami butuh kamu sekarang. Ada masalah pada laporan data bulan lalu. Kalau tidak dibereskan pagi ini, audit tidak bisa berjalan.”

Aku menelan ludah. Rasanya dadaku langsung sesak.

“Baik, saya segera ke kantor,” jawabku, meski suara itu terasa lebih berat daripada biasanya.

Aku berpikir: mungkin aku masih bisa menyelinap pergi sebentar setelah masalah selesai. Tapi ternyata, masalah tidak selesai dalam satu jam. Tidak juga dalam dua jam.
Waktu berjalan terlalu cepat—jam 8, jam 8.30, jam 9.

Aku terus melirik jam sambil mengetik laporan dengan panik.

Jam 9.15.

Jam 9.30.

Jam 10.00.

Aku merasa ada gemuruh di dalam hati, seperti suara yang terus berkata: kamu harus di sana. Kamu sudah berjanji.

Namun tubuhku tetap terikat di kursi kantor, di bawah tekanan pekerjaan yang tidak bisa kutinggalkan begitu saja.

Baru pada pukul 10.47 aku akhirnya bisa keluar. Dengan terburu-buru aku menuju sekolah Rani, meski dalam hati aku tahu... mungkin sudah terlambat.

Dan benar saja.

Ketika aku tiba, parkiran sudah sepi. Aula sekolah tampak kosong, hanya beberapa guru membereskan kursi. Tidak ada lagi suara riuh anak-anak. Tidak ada lagi tepuk tangan. Tidak ada lagi yang ditunggu.

Aku masuk ke aula, menatap panggung kecil yang sudah gelap. Di sana, di ujung ruangan, aku melihat Rani.

Ia berdiri sendirian, memegang lembaran puisi di tangannya. Rambutnya sedikit berantakan, mungkin karena ia menahan air mata.

Ketika ia melihatku, ia mengangkat wajahnya. Ada senyum kecil yang ia paksa, sebuah senyum yang tidak benar-benar menjadi senyum.

“Kak... sudah datang ya?” katanya pelan.

Aku mendekat. “Maaf, Ran... kakak—”

“Tidak apa-apa,” potongnya cepat, terlalu cepat.

Tapi matanya bercerita lain.
Ada kekecewaan di sana.
Kekecewaan yang tidak ia ucapkan, tapi terasa jelas.

Dan itulah yang paling menyakitkan.


Aku mencoba menghiburnya. Aku mengajak ia makan setelah itu. Aku mencoba menciptakan suasana ceria, seolah ingin menebus seluruh waktu yang hilang.

Rani tetap tersenyum, tapi aku tahu itu bukan senyum bahagia. Itu adalah senyum seseorang yang berusaha menyembunyikan luka.

Beberapa hari setelah itu, Rani menjadi sedikit lebih pendiam. Tidak lagi berlari menghampiriku setiap sore. Tidak lagi bercerita panjang lebar tentang sekolahnya. Seolah ada jarak yang tak kasat mata tetapi nyata antara kami.

Aku menyadari: aku sudah mengecewakannya. Dan lebih buruk lagi, aku mengecewakan seorang anak yang memegang kata-kataku sebagai pegangan.

Di kamar, aku memikirkan kejadian itu berulang-ulang. Aku mengingat kembali tatapan matanya di aula—tatapan yang aku tidak akan pernah lupa.

Tatapan itu membuatku memahami sesuatu:

Bahwa janji yang tidak ditepati bisa menjadi luka yang diam.
Luka yang tidak terlihat dari luar, tetapi tajam dari dalam.


Butuh waktu lama sampai aku berani meminta maaf dengan sungguh-sungguh pada Rani. Suatu sore aku mengetuk pintu rumahnya dan memanggil namanya. Ia keluar dengan wajah datar—tidak marah, tidak sedih, hanya datar.

“Ran,” kataku pelan, “kakak mau minta maaf. Hari itu... kakak—”

“Kakak sibuk, aku tahu,” katanya, mencoba tersenyum lagi.

“Tapi itu bukan alasan untuk melanggar janji.”

Ia menatapku—kali ini lebih jujur, lebih dalam. “Aku cuma... berharap kakak datang. Aku cuma ingin ada yang mendukung aku. Cuma itu. Tapi aku sudah terbiasa kok.”

Kalimat itu seperti hantaman di dada.

“Aku sudah terbiasa.”

Tidak seharusnya seorang anak terbiasa merasa tidak didukung. Tidak seharusnya ia belajar menerima bahwa harapan sering kali harus mati.

Sejak hari itu, aku berjanji pada diriku sendiri:
Aku tidak akan pernah mengucapkan janji sembarangan lagi.

Bukan karena takut gagal, tetapi karena aku tahu bagaimana rasanya mengecewakan seseorang yang mempercayai kita.


Sejak kejadian itu, setiap kali seseorang memintaku berjanji, aku selalu berhenti sejenak. Aku berpikir lebih lama. Aku mempertimbangkan segala kemungkinan. Aku tidak lagi berkata “iya” dengan mudah.

Kadang orang menganggapku terlalu berhati-hati, terlalu serius, terlalu banyak pertimbangan. Tapi aku tidak peduli.

Lebih baik tidak berjanji daripada mengingkari.

Toh, pada akhirnya janji bukanlah tentang kata-kata manis.
Janji adalah tanggung jawab. Janji adalah kepercayaan.

Dan aku tahu rasanya kehilangan kepercayaan seseorang—bahkan jika ia tidak mengatakan apa-apa.


Waktu berlalu. Rani tumbuh menjadi remaja yang lebih mandiri. Hubungan kami membaik perlahan, meski tidak akan pernah sama seperti dulu. Ia tetap ramah, tetap hangat, tapi ada bagian tertentu dari dirinya yang tidak lagi kubisa sentuh seperti dulu.

Suatu hari, tanpa kuduga, ia berkata sambil tersenyum tipis:

“Kak... aku tahu hari itu kakak tidak sengaja. Aku dulu kecewa, tapi aku tidak marah. Kakak mungkin sibuk, tapi kakak selalu baik sama aku. Jadi aku tidak mau mengingat yang buruk-buruk.”

Aku terdiam. Ada rasa lega sekaligus luka yang samar.

Kadang, maaf dari orang lain justru membuat kita semakin sadar akan kesalahan kita.
Dan maaf dari seorang anak kecil... itu jauh lebih besar pengaruhnya.

Sejak hari itu aku semakin berusaha menjadi manusia yang lebih baik. Bukan hanya dalam menepati janji, tapi dalam segala hal yang menyangkut kepercayaan orang lain.


Ada banyak hal yang kita pelajari dalam hidup ini.

Ada pelajaran tentang cinta, tentang kehilangan, tentang penerimaan.

Namun di antara semua itu, ada satu pelajaran kecil namun sangat berarti:
Janji yang ditepati dapat menjadi bentuk cinta paling sederhana, namun paling nyata.

Aku menyadari bahwa janji bukanlah hanya tentang hadir atau tidak hadir.
Janji adalah cermin tentang siapa diri kita.
Seberapa bertanggung jawab kita.
Seberapa besar kita menghargai orang lain.

Dan seberapa banyak kita menghargai kepercayaan yang diberikan kepada kita.

Kini setiap kali aku mengucapkan janji, aku membayangkan tatapan mata Rani hari itu—tatapan kecewa yang tidak pernah aku lupakan. Dan tatapan itu selalu menjadi pengingat agar aku menjaga kata-kataku sebagaimana aku ingin menjaga hati orang lain.


Janji bukanlah hal remeh.

Ia mungkin kecil, tetapi dampaknya bisa besar.

Setiap janji yang kita tepati adalah bentuk penghargaan kepada orang lain.
Setiap janji yang kita tepati adalah bukti bahwa kita mampu dipercaya.

Sebaliknya, janji yang diingkari adalah luka yang tidak selalu terlihat—tetapi bisa membekas dalam waktu yang sangat lama.

Hari ini, aku tidak lagi mudah berkata “aku janji”.
Tapi setiap janji yang akhirnya aku ucapkan adalah sesuatu yang benar-benar akan aku perjuangkan.

Karena aku percaya,
cinta yang jujur bukan hanya tentang kata-kata manis, melainkan tentang kesediaan untuk hadir ketika kita dibutuhkan.

Dan janji yang ditepati adalah salah satu bentuk cinta yang paling nyata. — Rezqi Abdina

PELUKAN TERAKHIR

 


Ada hal-hal yang tidak pernah benar-benar kita pikirkan saat masih memilikinya. Sesuatu yang tampak sederhana, biasa, lumrah—hingga pada akhirnya waktu mengambilnya jauh lebih cepat daripada yang sempat kita duga. Itulah yang kurasakan tentang sebuah pelukan terakhir. Sebuah momen yang dulu hanya kuanggap sebagai bagian dari rutinitas kecil, kini justru menjadi kenangan paling dalam yang terus hidup di hatiku.


Sejak kecil, aku selalu merasa bahwa orang-orang yang kucintai akan selalu tinggal di dekatku. Bahwa kehadiran mereka adalah sesuatu yang pasti. Setiap pagi aku bangun dan melihat wajah mereka, dan setiap malam aku pulang dan mendengar suara mereka. Rasanya dunia begitu stabil, begitu aman, begitu... utuh.

Tapi aku lupa bahwa hidup tidak pernah diam. Ada yang datang, ada yang pergi, ada yang berubah tanpa memberi aba-aba. Dan salah satu hal yang paling sulit diterima adalah ketika seseorang yang selalu ada di hidupmu—tiba-tiba tidak ada lagi. Bukan karena ia ingin pergi, tapi karena hidup memintanya kembali.


Aku masih bisa mengingat hari itu dengan sangat jelas meski waktu sudah berjalan cukup jauh. Hari yang sederhana sebenarnya, tidak ada tanda-tanda bahwa sesuatu yang besar akan terjadi. Aku bangun sedikit terlambat, tergesa-gesa bersiap, dan hampir melewatkan sarapan seperti biasanya.

Ia—orang yang sangat kusayangi itu—sedang duduk di ruang tengah sambil menonton acara pagi. Tatapannya hangat seperti biasa, namun aku tidak terlalu memperhatikannya. Aku hanya berkata cepat, “Aku berangkat ya,” seperti yang sudah kulakukan ratusan kali sebelumnya.

Ia menoleh, tersenyum, dan berdiri untuk mendekatiku.

“Eh, sini dulu,” katanya sambil membuka tangannya.

Aku sebenarnya sedang terburu-buru, tapi aku tidak ingin terlihat tidak sopan. Jadi aku mendekat, dan ia memelukku sebentar. Pelukan yang hangat, ringan, dan terasa akrab.

“Jaga diri, jangan pulang terlalu malam,” ucapnya.

Aku mengangguk sambil tersenyum sekilas, lalu melangkah pergi.

Aku tidak tahu bahwa itu adalah pelukan terakhir yang akan pernah aku rasakan darinya.


Beberapa minggu setelah hari itu, hidupku berubah dalam sekejap. Sebuah kabar datang—singkat, tajam, menghantam seperti gelombang besar yang menghancurkan pantai tanpa memberi waktu untuk berlari. Orang itu... telah pergi.

Aku hanya duduk memegangi ponselku, menatap layar yang terus bergetar dengan pesan-pesan masuk. Dunia seolah mengecil, suaranya hilang, warnanya pudar. Aku bahkan tidak menangis pada awalnya—bukan karena tidak sedih, tetapi karena otakku belum mampu menerima kenyataan itu sepenuhnya.

Sore itu aku kembali ke rumah, tapi rasanya rumah itu bukan lagi rumah yang sama. Sudut-sudut ruangan tampak lebih sunyi, lebih dingin, lebih kosong. Ada kursi kosong yang dulu selalu ia tempati. Ada cangkir favoritnya yang masih bersih di lemari. Ada sandal yang masih rapi di dekat pintu. Semua seperti menunggu kehadirannya kembali, tapi aku tahu... itu tidak akan pernah terjadi.

Dan akhirnya, setelah semuanya tenggelam dalam kesadaran yang pahit, aku menangis. Aku menangis begitu dalam hingga rasanya dadaku diremas dari dalam. Aku menangis karena kehilangan, tetapi juga karena penyesalan—penyesalan yang tak sempat kuucapkan.


Beberapa hari setelah kepergiannya, aku duduk sendirian di kamar. Lampu dimatikan, tirai tertutup, membuat ruangan terasa seperti dunia kecil yang tertutup dari waktu. Di sudut ruangan, ada sebuah kotak kecil berisi barang-barang yang berkaitan dengannya. Foto, gelang, sehelai sapu tangan, dan beberapa catatan kecil yang pernah ia beri.

Saat aku membuka salah satu catatan itu, tertulis:
“Kalau kau lelah, pulanglah. Aku selalu ada di sini.”

Kalimat itu menghantamku seperti kenyataan yang tak mampu kutolak. Ia selalu ada untukku. Selalu menunggu, selalu mendengarkan, selalu merangkulku ketika aku runtuh. Tapi betapa seringnya aku menganggap kehadirannya sebagai hal yang biasa—tanpa benar-benar memahami betapa berharganya itu.

Aku menangis lagi. Bukan hanya karena kehilangan, tapi karena aku mulai menyadari sesuatu: aku tidak pernah benar-benar membalas semua kasih sayangnya. Aku tidak pernah memeluknya sehangat ia memelukku. Aku tidak pernah meluangkan waktu untuk benar-benar mengatakan betapa berharganya ia bagiku. Aku hanya terus berlari mengejar hari-hari, seolah waktu akan selalu menunggu.

Dan kini, satu-satunya hal yang tersisa hanyalah pelukan terakhir itu. Sebuah momen yang dulu terasa biasa saja, tapi kini menjadi kenangan paling mahal dalam hidupku.


Beberapa minggu kemudian, aku mencoba kembali menjalani rutinitas seperti biasa. Pergi bekerja, menyapa teman-teman, menjalani hari dengan senyum tipis yang sedikit demi sedikit kupaksakan. Tapi setiap kali aku berjalan melewati jalan yang dulu sering kulalui bersamanya, hatiku terasa disayat perlahan.

Yang paling sulit bukanlah ketidakhadirannya di hari kematiannya. Yang paling sulit adalah ketidakhadirannya pada hari-hari setelahnya—hari-hari kecil yang dulu biasa saja, kini berubah menjadi pengingat tentang kehilangan.

Di ruang tengah, aku sering merasa seolah ia masih duduk di sana. Di dapur, aku masih bisa membayangkan aroma masakan kesukaannya. Di kamar, aku masih melihat bayangan senyumnya dalam pikiranku. Aku tahu itu hanyalah kenangan, tapi kenangan itu sangat hidup, seolah ia masih dekat, hanya saja tidak bisa kusentuh.

Dan pada malam-malam tertentu, rasa bersalah kembali datang menghampiri.

Rasa bersalah karena tidak memeluknya lebih lama di pelukan terakhir itu.
Rasa bersalah karena terlalu sibuk dengan dunia sendiri.
Rasa bersalah karena terlalu sering menunda untuk mengatakan “aku sayang.”
Rasa bersalah karena tidak pernah benar-benar menyadari bahwa waktu bersamanya begitu terbatas.


Hingga suatu sore, aku duduk di dekat jendela dengan secangkir teh hangat di tangan. Langit tampak muram, seolah turut berduka bersama hatiku. Aku teringat ucapan seseorang yang pernah berkata:

“Yang pergi memang tidak bisa kembali, tapi ia tidak pernah benar-benar hilang. Ia tinggal di dalam kenanganmu. Ia hidup selama kamu mengingatnya.”

Aku memejamkan mata dan membiarkan ucapan itu memenuhi pikiranku. Mungkin benar—mungkin seseorang yang kita cintai tidak pernah benar-benar pergi. Ia hanya berubah bentuk. Dari sosok yang bisa dipeluk menjadi kenangan yang bisa dikenang. Dari suara yang bisa didengar menjadi bisikan lembut di hati. Dari kehadiran fisik menjadi pelajaran tentang cinta.

Dan aku mulai belajar menerima bahwa meski aku tidak bisa memeluknya lagi, pelukan terakhir itu tetap ada. Tetap hangat, tetap hidup, tetap menjadi bagian yang tidak akan pernah hilang dari diriku.


Sejak saat itu, aku memutuskan untuk menghargai setiap pelukan yang kudapatkan dari orang lain. Aku mulai memeluk orangtuaku lebih sering, memeluk sahabatku dengan lebih tulus, bahkan memeluk diriku sendiri pada malam-malam sulit. Karena aku tahu, setiap pelukan bisa menjadi pelukan terakhir bagi seseorang—dan itu sebabnya setiap pelukan harus diberikan dengan hati yang penuh.

Aku tidak ingin lagi menghabiskan hidup dengan menunda untuk menunjukkan kasih sayang. Aku tidak ingin lagi kehilangan kesempatan untuk memberi pelukan yang hangat. Aku tidak ingin lagi menyesal.

Aku belajar bahwa cinta tidak hanya ditunjukkan melalui kata-kata indah atau ucapan manis. Kadang cinta hadir dalam bentuk yang sederhana—sebuah pelukan yang hangat dan penuh ketulusan. Pelukan yang mengatakan tanpa kata, “Aku ada untukmu,” “Aku menyayangimu,” “Kamu berharga dalam hidupku.”

Satu pelukan kecil bisa memberi kekuatan besar. Dan satu pelukan terakhir bisa mengubah seluruh cara kita memandang hidup.


Hingga sekarang, bertahun-tahun setelah kepergiannya, aku masih mengingat pelukan terakhir itu. Tidak lagi dengan tangis yang pecah seperti dulu, tetapi dengan rasa syukur. Karena setidaknya, aku pernah merasakan pelukan itu. Setidaknya aku pernah punya momen itu untuk kusimpan selamanya.

Kadang aku masih membayangkan bagaimana rasanya jika aku memeluknya sedikit lebih lama—mungkin beberapa detik lagi. Tapi kemudian aku tersenyum pelan. Aku tahu ia tidak ingin aku terjebak dalam penyesalan. Ia selalu ingin aku hidup dengan tenang, melangkah ke depan dengan hati yang penuh, bukan dengan hati yang kosong.

Jadi kini, setiap kali aku merindukan kehadirannya, aku menutup mata dan membayangkan pelukan terakhir itu. Dan dalam hati kecilku, aku berkata:

“Aku tidak akan lupa. Aku tidak akan menunda lagi. Aku akan mencintai orang-orang yang masih ada selagi waktu masih memberi kesempatan.”


Pelukan terakhir mengajarkanku banyak hal—tentang cinta, tentang kehilangan, tentang waktu yang tidak pernah kembali, dan tentang pentingnya menghargai setiap momen kecil dalam hidup kita.

Karena pada akhirnya, hidup bukan tentang seberapa lama kita memiliki seseorang, tetapi tentang seberapa tulus kita menghargai kehadirannya saat ia masih ada.

Dan pelukan terakhir itu… adalah pengingat abadi bahwa cinta tidak pernah benar-benar pergi. Ia hanya berpindah tempat—dari tangan kita ke dalam hati kita.

Jangan menunggu kehilangan untuk belajar menghargai kehadiran. Berikan pelukanmu hari ini, selagi dunia masih memberi waktuRezqi Abdina

Jasa

Hal yang aku bisa


Dropshipper

Saya memiliki minat yang besar dalam dunia teknologi dan ingin memanfaatkan kesempatan ini untuk menjalankan usaha Dropshipper yang menjual Alat-alat Komputer dan Elektronik. Saya sedang dalam proses mempelajari dan memahami bagaimana cara menjalankan bisnis ini, mulai dari memilih supplier yang tepat hingga mengelola pengiriman barang kepada pelanggan. Saya percaya bahwa dengan kerja keras dan dedikasi, saya dapat mencapai kesuksesan dalam bisnis ini.

Pemrograman

Dalam mempelajari pemrograman, saya menggunakan aplikasi Visual Studio Code untuk mengembangkan kode program. Saya menyadari bahwa untuk membuat program yang menarik, kita harus memperhatikan aspek estetika dan fungsionalitas. Oleh karena itu, saya berusaha untuk membuat program yang tidak hanya berjalan dengan baik, tetapi juga memiliki tampilan yang menarik dan sesuai dengan ukuran dan layout yang disediakan pada blog maupun website tersebut, sehingga dapat meningkatkan kepuasan pengguna dan membuat program lebih populer.

Designer

Saya sangat tertarik dengan dunia desain dan ingin terus mempelajari dan mengembangkan keterampilan saya. Saya ingin tahu bagaimana caranya supaya tampilan yang saya buat dapat lebih menarik dan memukau bagi orang lain maupun diri sendiri. Saya percaya bahwa dengan menggunakan prinsip-prinsip desain yang tepat dan memanfaatkan teknologi yang ada, saya dapat menciptakan tampilan yang tidak hanya indah tetapi juga efektif dalam mengkomunikasikan pesan atau tujuan, sehingga dapat meningkatkan kesadaran dan minat orang lain terhadap desain saya.

Freelancer

Selain pekerjaan utama saya, saya juga bekerja sebagai Freelancer untuk menambah pengalaman dan keterampilan dalam bidang yang saya dalami. Dengan menjadi Freelancer, saya dapat meningkatkan portofolio saya dan memperluas jaringan profesional saya. Selain itu, saya juga dapat memperoleh pendapatan tambahan yang dapat membantu saya meningkatkan kualitas hidup saya.

Fotografi

Meskipun saya tidak memiliki latar belakang yang kuat dalam Photography, saya selalu berusaha untuk mempelajari dan meningkatkan keterampilan saya. Saya memiliki kesempatan untuk belajar dari teman-teman saya yang ahli di bidang ini, dan mereka telah membagikan pengetahuan dan pengalaman mereka dengan saya. Saya sangat tertarik dengan Photography karena dapat menangkap momen-momen indah dan mengungkapkan cerita melalui gambar.

E-commerce

Saya berencana untuk membuat website E-commerce yang dapat membantu saya menjual produk-produk saya secara efektif. Saya telah menemukan bahwa ada banyak platform yang menyediakan website E-commerce yang dapat saya gunakan, dan saya akan memilih platform yang paling sesuai dengan kebutuhan saya. Dengan menggunakan platform ini, saya dapat membuat toko online yang profesional dan meningkatkan kesempatan saya untuk meningkatkan penjualan dan meningkatkan kepuasan pelanggan.

Kontak

Hubungi saya kalau kalian penasaran


Alamat Rumah

JL. Kuin Selatan Gg. Al-Hidayah No.102 RT.01 RW.01 Cerucuk, Banjarmasin Barat, Banjarmasin, Kalimantan Selatan

Nomer Handpohone

+(62)821-5365-6192

Website Jualan

Abdina Store